Jakarta -Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan sejarah perekonomian Indonesia selama 70 tahun, banyak pelajaran yang bisa didapat. Ia mencontohkan kejatuhan harga minyak dunia sudah pernah terjadi pada era 1980-an.
Saat itu, harga minyak jatuh hingga di bawah level US$ 10 per barel. Indonesia yang saat itu mengandalkan ekspor minyak bumi sebagai sumber utama pendapatan negara cukup terpukul. Sedangkan saat ini harga minyak sudah turun dari beberapa tahun lalu yang mencapai US$ 100/barel menjadi US$ 40/barel.
"Sejarah mengajarkan kita harga minyak pernah di bawah US$ 10 per barel waktu tahun 1980-an. Waktu itu APBN kita tergantung pada PNBP migas, sampai kondisi memaksa kita melakukan perubahan," tutur Bambang dalam Seminar 'Perekonomian Indonesia dari Masa ke Masa' di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (31/8/2015).
Setelah jatuhnya harga minyak dunia itu, Indonesia melakukan perubahan struktural dalam perekonomian. Negara tak lagi mengandalkan pemasukan dari minyak bumi, sektor pajak dan sektor riil dibenahi. Pajak dan industri manufaktur menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.
"Yang terjadi saat itu perubahan struktural ekonomi, yakni pajak direvitalisasi karena APBN saat itu sangat bergantung pada PNBP migas. Sektor riil mulai dikembangkan karena harga minyak fluktuatif, maka harus didorong manufaktur," ujarnya.
Dengan adanya perubahan tersebut, perekonomian Indonesia bertumpu pada industri manufaktur yang padat karya pada era 1990-an sampai krisis menghantam pada 1998, industri padat karya pun terpukul.
"Manufaktur menjadi tulang punggung ekonomi sampai 1998," tukasnya
Sesudah 1998, ekonomi Indonesia tidak lagi berbasis migas ataupun industri manufaktur, tapi berbasis komoditas. Harga batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang menanjak membuat penerimaan negara dari komoditas amat dominan.
"Sesudah recovery (setelah 1998), ekonomi kita berbasis komoditas, batu bara dan sawit. Harga batu bara dan sawit memang luar biasa waktu itu," paparnya.
Namun, sama halnya dengan minyak bumi, harga komoditas tidak stabil, ekonomi Indonesia terganggu ketika harga komoditas anjlok. "Sejarah mengingatkan kita lagi, harga komoditas tidak selamanya tinggi, tidak berbeda dengan minyak. Kita terlambat mengantisipasi," ucapnya.
Sekarang, Indonesia sudah tak bisa lagi mengandalkan migas, manufaktur padat karya, dan komoditas. Harga minyak dan komoditas makin tak menentu. Sedangkan di sektor manufaktur padat karya, kini kondisi perburuhannya sudah jauh berbeda, tidak bisa lagi mengandalkan upah buruh murah seperti di era Orde Baru.
Pasca jatuhnya harga komoditas, menurut Bambang, ada 3 sektor yang bisa menjadi tumpuan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Ketiga sektor ini diyakininya bisa membuat ekonomi Indonesia tetap tumbuh tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Pertama, adalah infrastruktur, dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah saat ini, bisnis infrastruktur menjadi amat menjanjikan.
"Ekonomi kita akan diwarnai infrastruktur. Infrastruktur lebih sebagai bisnis dari pihak swasta," kata Bambang.
Kedua, industri pengolahan berbasis sumber daya alam. "Sawit itu masa depannya sangat bagus tapi harus diarahkan ke industri pengolahan. Kita juga masih punya karet, kakao, kayu, belum lagi perikanan. Kita kan nggak mau cuma jual ikan mentah, harus diolah, dikalengkan. Smelter, industri besi baja, dan sebagainya yang bahan bakunya dari Indonesia sendiri itu bisa jadi industri masa depan," kata Bambang.
Ketiga, sektor industri yang pasar di dalam negerinya sangat besar, misalnya elektronika dan otomotif. Dengan pasar di dalam negeri yang besar, biaya produksi barang-barang tersebut bisa mencapai skala ekonomi sehingga biaya produksinya rendah, daya saingnya pun menjadi tinggi.
"Pengolahan makanan juga sudah bisa diekspor, misalnya instan noodle, karena (pasar) domestiknya kuat jadi bisa kirim ke luar negeri," cetusnya.
Bambang berharap situasi sulit ekonomi saat ini dapat memunculkan kebijakan baru yang memperbaiki struktur ekonomi Indonesia sehingga menjadi lebih kuat.
"Sejarah mengajarkan kita dalam kondisi jelek biasanya akan muncul kebijakan bagus. Kita harus mencari acuan kebijakan ke depan, jangan ambil kebijakan yang dampaknya jangka pendek," tutupnya.
sumber : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar