Pernahkah teman-teman mendengar nama Lo Kheng Hong? Beliau adalah salah satu value investor Indonesia yang memiliki aset hingga 2,5 Triliun Rupiah dengan memburu telur emas IHSG. Berikut adalah salah satu tips dari Beliau yang diambil dari Investor Daily :
Karena kepiawaiannya mereguk keuntungan berlipat ganda dari pasar saham, ia dijuluki sebagai “Warren Buffett Indonesia.” Lo Kheng Hong, demikian nama pria berusia 52 tahun itu, tak hanya lihai memilih sahamsaham yang mampu menghasilkan gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish.
Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti saham apa yang dibeli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Semakin cepat panik seorang investor, semakin menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong kepada wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto Eko S Hilman di Jakarta, baru-baru ini.
Seperti Warren Buffett, sang maestro saham di Wall Street yang menjadi idolanya, ayah dua anak berpembawaan kalem dan rendah hati ini juga tergolong tipe investor jangka panjang yang hanya sesekali saja menjadi trader. Ia bahkan bukan tipe investor yang setiap saat memelototi layar komputer atau melengkapi diri dengan handphone canggih untuk melihat pergerakan harga saham. ”Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam jangka panjang, dapat uangnya besar,” ujar Lo Kheng Hong.
Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo Kheng Hong sebagai pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil lolos dari krisis moneter 1997-1998, bahkan kemudian menangguk keuntungan hingga 150.000%. “Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.
Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk saham sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali tidak tergoda untuk mendiversifikasi investasinya ke instrumen lain, seperti emas, properti, atau kendaraan. Bahkan, mantan kepala cabang Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan, termasuk perusahaan sekuritas.
“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi krisis saya masih punya uang untuk membeli saham. Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham dan asetnya disebut-sebut bernilai triliunan rupiah.
Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar dari pasar saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan lengkap wawancara dengan pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak berniat menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.
Anda punya saham apa saja?
Saya punya saham 30 emiten, antara lain di Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan saya di saham lain di bawah 5%. Saya tipe investor jangka panjang. Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya besar. Saya pegang saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005 seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp 31.500. Belum saya jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.
Cara Anda memilih saham?
Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance (GCG) atau tidak. Saya cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu. Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam karung, karena ini menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu. Lihat manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai pengelolanya suka ambil uang perusahaan,
sehingga saya sebagai sleeping partner dirugikan. Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua manajemen, ketiga manajemen, baru yang lain.
Kemudian lihat sektor usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang kurang menarik, misalnya sepatu, tekstil, dan garmen. Tapi ada juga yang menarik, seperti sawit dan pakan ayam. Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah. Perhatikan juga apakah emitennya mengalami pertumbuhan atau tidak.
Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?
Ada empat tipe perusahaan. Pertama, yang rugi terus, yang kadang untung dan kadang merugi, kemudian yang untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga yang growing secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan seterusnya. Ini yang saya cari. Lihat kinerjanya lima tahun ke belakang. Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya mengalami hal sama. Kalau sudah lima tahun berturut-turut growing, tandanya itu super company.
Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi?
Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang saham A karena harganya Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya, saham yang harganya Rp 70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.
Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?
Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PERnya di bawah lima kali, itu sangat menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan yang sudah baik dan manajemennya bagus, PER-nya sudah di atas 10 kali.
Kapan saat paling tepat masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di Yunani, Eropa, dan AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan, buy on weakness. Dan, harus be greedy when others are fearful dan sebaliknya, be fearful when others greedy.
Bukankah sulit menerapkan filosofi tersebut?
Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang yang sudah terbukti berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha, ha… Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa mengelola uang nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua peraturan di bursa saham, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara menjadi kaya di pasar saham.
Berarti, kuncinya ada di mental?
Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Saya berikan ilustrasi. Waktu saya ke Harvard University, saya tanya biaya kuliahnya berapa? Ternyata bisa sampai US$ 40.000. Dengan belajar seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi orang pintar. Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum tentu jadi pintar, malah bisa tambah bingung, seperti Madoff yang sudah menghabiskan uang masyarakat US$ 60 miliar. Intinya, pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang kuat, kita harus mengetahui perusahaan satu per satu.
Jadi, Anda tipe investor fundamental?
Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan perusahaan. Kalau teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya yakin itu tidak benar. Tapi memang harus selektif. Dari 400-an saham yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya bagus. Terkadang, ada yang terjebak.
Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?
Falsafah hidup saya adalah bagaimana menjadi kaya sambil tidur. Kenapa kita pusing? Karena beli saham yang tidak kita ketahui. Ada yang tidak bisa tidur karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali. Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya hanya lima kali?
Bukankah faktor nonfundamental sering menentukan?
Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market mengalami booming, semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan dan tidak mengerti apa yang dibeli. Belajarlah dari orang yang sudah berhasil. Jangan percaya kalau ada yang bilang dapat untung besar saat IHSG turun. Hebat sekali. Warren Buffett saja mengalami kerugian saat pasar turun.
Anda berinvestasi pada instrumen selain saham?
Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana tunai saya hanya 15%, sisanya portofolio saham. Itu untuk antisipasi kalau pasar modal kita jatuh, sehingga saya masih bisa beli saham lagi. Saya membiayai hidup sehari-hari dari dividen. Selain itu, misalnya harga saham yang saya beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp 2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat menahannya untuk jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah 300% dalam sebulan, saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep.
Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh, tapi tetap be greedy when others are fearful. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi. Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar