Jakarta -Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan sejarah perekonomian Indonesia selama 70 tahun, banyak pelajaran yang bisa didapat. Ia mencontohkan kejatuhan harga minyak dunia sudah pernah terjadi pada era 1980-an.
Saat itu, harga minyak jatuh hingga di bawah level US$ 10 per barel. Indonesia yang saat itu mengandalkan ekspor minyak bumi sebagai sumber utama pendapatan negara cukup terpukul. Sedangkan saat ini harga minyak sudah turun dari beberapa tahun lalu yang mencapai US$ 100/barel menjadi US$ 40/barel.
"Sejarah mengajarkan kita harga minyak pernah di bawah US$ 10 per barel waktu tahun 1980-an. Waktu itu APBN kita tergantung pada PNBP migas, sampai kondisi memaksa kita melakukan perubahan," tutur Bambang dalam Seminar 'Perekonomian Indonesia dari Masa ke Masa' di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (31/8/2015).
Setelah jatuhnya harga minyak dunia itu, Indonesia melakukan perubahan struktural dalam perekonomian. Negara tak lagi mengandalkan pemasukan dari minyak bumi, sektor pajak dan sektor riil dibenahi. Pajak dan industri manufaktur menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.
"Yang terjadi saat itu perubahan struktural ekonomi, yakni pajak direvitalisasi karena APBN saat itu sangat bergantung pada PNBP migas. Sektor riil mulai dikembangkan karena harga minyak fluktuatif, maka harus didorong manufaktur," ujarnya.
Dengan adanya perubahan tersebut, perekonomian Indonesia bertumpu pada industri manufaktur yang padat karya pada era 1990-an sampai krisis menghantam pada 1998, industri padat karya pun terpukul.
"Manufaktur menjadi tulang punggung ekonomi sampai 1998," tukasnya
Sesudah 1998, ekonomi Indonesia tidak lagi berbasis migas ataupun industri manufaktur, tapi berbasis komoditas. Harga batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang menanjak membuat penerimaan negara dari komoditas amat dominan.
"Sesudah recovery (setelah 1998), ekonomi kita berbasis komoditas, batu bara dan sawit. Harga batu bara dan sawit memang luar biasa waktu itu," paparnya.
Namun, sama halnya dengan minyak bumi, harga komoditas tidak stabil, ekonomi Indonesia terganggu ketika harga komoditas anjlok. "Sejarah mengingatkan kita lagi, harga komoditas tidak selamanya tinggi, tidak berbeda dengan minyak. Kita terlambat mengantisipasi," ucapnya.
Sekarang, Indonesia sudah tak bisa lagi mengandalkan migas, manufaktur padat karya, dan komoditas. Harga minyak dan komoditas makin tak menentu. Sedangkan di sektor manufaktur padat karya, kini kondisi perburuhannya sudah jauh berbeda, tidak bisa lagi mengandalkan upah buruh murah seperti di era Orde Baru.
Pasca jatuhnya harga komoditas, menurut Bambang, ada 3 sektor yang bisa menjadi tumpuan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Ketiga sektor ini diyakininya bisa membuat ekonomi Indonesia tetap tumbuh tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Pertama, adalah infrastruktur, dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah saat ini, bisnis infrastruktur menjadi amat menjanjikan.
"Ekonomi kita akan diwarnai infrastruktur. Infrastruktur lebih sebagai bisnis dari pihak swasta," kata Bambang.
Kedua, industri pengolahan berbasis sumber daya alam. "Sawit itu masa depannya sangat bagus tapi harus diarahkan ke industri pengolahan. Kita juga masih punya karet, kakao, kayu, belum lagi perikanan. Kita kan nggak mau cuma jual ikan mentah, harus diolah, dikalengkan. Smelter, industri besi baja, dan sebagainya yang bahan bakunya dari Indonesia sendiri itu bisa jadi industri masa depan," kata Bambang.
Ketiga, sektor industri yang pasar di dalam negerinya sangat besar, misalnya elektronika dan otomotif. Dengan pasar di dalam negeri yang besar, biaya produksi barang-barang tersebut bisa mencapai skala ekonomi sehingga biaya produksinya rendah, daya saingnya pun menjadi tinggi.
"Pengolahan makanan juga sudah bisa diekspor, misalnya instan noodle, karena (pasar) domestiknya kuat jadi bisa kirim ke luar negeri," cetusnya.
Bambang berharap situasi sulit ekonomi saat ini dapat memunculkan kebijakan baru yang memperbaiki struktur ekonomi Indonesia sehingga menjadi lebih kuat.
"Sejarah mengajarkan kita dalam kondisi jelek biasanya akan muncul kebijakan bagus. Kita harus mencari acuan kebijakan ke depan, jangan ambil kebijakan yang dampaknya jangka pendek," tutupnya.
sumber : detik.com
Warren Buffett, investor terbesar di abad ini, pernah ditanya bagaimana dia menentukan saham pilihannya? Dia menjawab, "Carilah telur emas. Itu terdapat pada laporan keuangan perusahaan" Mari kita belajar berinvestasi seperti Warren Buffet dengan mempelajari bagaimana dia mencari telur emas di laporan keuangan perusahaan. Blog ini juga ingin berbagi beberapa informasi seputar dunia investasi.
Senin, 31 Agustus 2015
LAPORAN RUGI / LABA (7) - Earning Per Share atau Laba Per Saham
Hai teman-teman, apa kabar. Semoga lebih fresh setelah menikmati weekend kemarin. Hari ini kita akan meneruskan belajar membaca laporan keuangan untuk menjadi filter kita sebelum menginvestasikan uang kita pada sebuah perusahaan tertentu dengan membeli sahamnya. Kali ini kita akan membahas komponen terakhir dari sebuah Laporan Rugi/Laba, yaitu Laba Per Saham atau biasa disebut Earnings Per Share (EPS). Setelah ini kita akan membedah laporan keuangan yang lain yaitu Neraca. Nah, apa yang akan kita lihat dan harus dimiliki perusahaan kita untuk EPS ini?
Sebelumnya mari kita mencari tahu dulu bagaimana cara menghitung EPS. EPS didapat dari membagi laba bersih perusahaan dengan jumlah saham yang beredar. Sebagai contoh, jika perusahaan membukukan laba bersih tahun 2014 sebesar 10 Milyar Rupiah dan jumlah saham yang beredar adalah 100 juta lebar, maka EPS nya adalah Rp 100 per lembar.
Kita tidak akan menemukan arti apa-apa hanya dengan melihat satu periode atau satu tahun EPS. Untuk menemukan perusahaan dengan keunggulan kompetitif jangka panjang kita perlu melihat minimal sepuluh tahun kebelakang. Apa yang kita cari? Kita mencari 10 periode atau 10 tahun EPS yang menunjukan konsistensi tren meningkat. Gambarannya seperti ini :
Tahun | EPS |
2014 | 120 |
2013 | 105 |
2012 | 85 |
2011 | 70 |
2010 | 65 |
2009 | 55 |
2008 | 50 |
2007 | 45 |
2006 | 36 |
2005 | 30 |
Contoh di atas menunjukkan perusahaan memiliki EPS yang konsisten memiliki tren meningkat dalam jangka panjang. Hal ini memberikan tanda bahwa perusahaan memiliki sesuatu keunggulan kompetitif untuk jangka panjang. EPS yang konsisten ini menunjukkan bahwa perusahaan menjual sebuah produk atau banyak produk maupun jasa yang tidak membutuhkan biaya perubahan proses yang mahal. Perusahaan dengan EPS seperti ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kemampuan secara ekonomi kuat, baik untuk membuat peningkatan pengeluaran untuk meningkatkan market share dengan iklan ataupun ekspasi perusahaan maupun menggunakan uangnya untuk melakukan buyback sahamnya.
Kita harus menghindari menginvestasikan uang pada perusahaan seperti ini :
Tahun | EPS |
2014 | 78 |
2013 | 100 |
2012 | -35 |
2011 | 112 |
2010 | -160 |
2009 | 134 |
2008 | 50 |
2007 | 175 |
2006 | 200 |
2005 | 150 |
EPS pada contoh di atas menunjukkan perusahaan pada industri yang kompetitif. Hal ini ditunjukkan dengan perusahaan yang terkadang untung besar, terkadang merugi. Pada saat Perusahaan untung, menunjukkan bahwa permintaan lebih besar daripada penawaran, tapi dengan meningkatnya permintaan maka perusahaan akan meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan. Dengan meningkatkan supply, maka akan terjadi pergeseran sehingga penawaran akan lebih banyak dari demand, sehingga akan menurunkan harga jual. Harga jatuh sama dengan perusahaan akan merugi sambil menunggu peristiwa selanjutnya, permintaan kembali lebih besar daripada penawaran di pasar. Banyak sekali perusahaan seperti ini, yang menggantungkan nasib dan penentuan harganya kepada pasar, karena tidak memiliki keunggulan kompetitif jangka panjang.
Nah, sekarang coba kita lihat pada contoh-contoh kita sebelumnya, KLBF
laporan rugi/laba tahun 2010
laporan rugi/laba 2011 - 2013
Dari tahun 2010 - 2013 EPS KLBF :
Tahun | EPS | EPS |
2009 | 97 | |
2010 | 137 | |
2011 | 158 | 32 |
2012 | 37 | |
2013 | 41 |
EPS KLBF menunjukkan selalu meningkat dari tahun ke tahun dalam lima tahun kebelakang (2009 - 2013). Untuk tahun 2012 ada aksi korporasi meningkatkan jumlah saham perusahaan (stocksplit, etc) sehingga EPS menurun. EPS menurun karena jumlah saham yang beredar meningkat (pembagi lebih banyak). Mengapa EPS bisa menurun atau meningkat walau laba perusahaan tetap? bagi yang belum membaca postingan saya sebelumnya bisa membacanya terlebih dahulu.
EPS pada contoh KLBF tersebut pada tahun 2012 turun, bukan berarti laba perusahaan menurun, tetapi dikarenakan jumlah saham yang beredar lebih banyak. Hal ini ditunjukkan pada laporan rugi laba 2012 pada contoh di atas bagian tengah, menunjukkan pada tahun 2011 baik pada laporan rugi/laba 2011 (kanan) maupun 2012 (tengah), laba bersihnya tidak berubah. Aksi perusahaan di tahun 2012 yang mengakibatkan jumlah saham yang beredar bertambah mengakibatkan perhitungan EPS tahun 2011 pada laporan rugi/laba 2012 berbeda dengan laporan pada tahun 2011 sendiri.
Apa yang kita cari, EPS yang terus menunjukkan tren meningkat dalam jangka panjang. Apakah KLBF salah satunya? Ingat, kita harus memeriksanya minimal 10 tahun kebelakang. Nah, tugas teman-teman untuk mencari tahu apakah 5 tahun kebelakang dari tahun 2009 KLBF terus menunjukkan konsistensi pertumbuhan EPS? Cari tahu pula apa aksi korporasi tahun 2012 sehingga jumlah sahamnya bertambah?
Analisa atau filter EPS ini hanyalah salah satu dari 7 filter kita terhadap laporan rugi/laba. Kita harus mencari perusahaan yang memenuhi semua filter ini untuk memastikan bahwa perusahaan yang akan kita beli adalah perusahaan yang memiliki telur emas yang akan memberikan gain yang luar biasa pada investasi kita. Setelah 7 filter ini, masih banyak filter lain pada laporan keuangan neraca yang akan segera kita bahas pada kesempatan berikutnya. Stay tune.
Jumat, 28 Agustus 2015
LAPORAN RUGI/LABA (6) - Laba Bersih
Laba/Rugi operasi setelah dikurangkan dengan beban bunga, laba/rugi penjualan aset, maupun biaya lain-lain akan menjadi laba/rugi sebelum pajak penghasilan yang setelah dikurangkan pajak penghasilan akan menjadi laba bersih perusahaan pada periode pembuatan laporan keuangan laba/rugi tersebut. Ada beberapa konsep yang dapat dipakai untuk menganalisa laba/rugi bersih perusahaan ini. Mari kita bahas satu persatu
contoh letak laba/rugi bersih pada laporan rugi/laba
Konsep pertama untuk menganalisa laba bersih, apakah perusahaan membukukan laba bersih yang menunjukan tren meningkat secara histori. Laba bersih pada satu tahun tertentu saja tidak menunjukkan sesuatu yang dapat kita analisa. Kita akan lebih tertarik pada perusahaan yang membukukan laba bersih yang konsisten menunjukkan tren meningkat dari satu tahun ke tahun berikutnya.
Catatan : karena program buyback saham oleh perusahaan, memungkinkan untuk terjadinya perbedaan tren pada hitory laba bersih perusahaan dengan history laba per saham. Buyback saham yang dilakukan perusahaan akan meningkatkan laba per saham karena mengurangi jumlah saham yang beredar. Jumlah saham yang beredar berkurang akan mengurangi pembagi dalam menghitung laba per saham, sehingga laba per sahamnya akan meningkat walau mungkin dalam kondisi laba bersih perusahaan tidak meningkat pada tahun itu. Bahkan jika ingin ekstrem, laba bersih pada tahun tersebut sebenarnya turun, tetapi karena ada buyback laba per saham menjadi meningkat.
Sehingga walau banyak analis finansial menggunakan laba per saham, kita tetap harus melihat pada laba bersih untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Rasio laba bersih dibandingkan dengan total penjualan adalah hal yang akan kita amati berikutnya. Perusahaan pemenang akan membukukan rasio yang lebih baik daripada kompetitor pada industrinya. Jika anda diberikan pilihan, mau memilih perusahaan dengan laba bersih 2 Milyar Rupiah dari total penjualan 10 Milyar Rupiah atau perusahaan dengan laba bersih 5 Milyar Rupiah dari total penjualan 100 Milyar Rupiah? Saya akan lebih memilik perusahaan pertama. Karena perusahaan ini membukuan laba bersih 20% dari angka penjualan, sedangkan perusahaan kedua membukukan 5% saja. Itulah mengapa pada pembahasan pertama mengenai total penjualan saya pernah mengatakan tidak banyak yang dapat diartikan dari sebuah total penjualan, sebesar apapun penjualannya. Rasio laba bersih terhadap total penjualan lah yang dapat memberitahukan kita lebih mengenai ekonomi dari bisnis tersebut.
Coca-Cola memiliki rasio laba bersih terhadap total penjualan sebesar 20%, Moodys 31% yang menunjukan perusahaan-perusahaan ini superior. Perusahaan penerbangan Southwest Airlines, yang konsisten membukukan profit, hanya memiliki rasio 7%, yang merefleksikan bahwa bisnis ini merupakan industri yang sangat kompetitif. Bagaimana dengan perusahaan biasa-biasa saja? GM pada tahun-tahun baik (sewaktu mereka tidak rugi, walau jarang) hanya membukukan 3%.
Filter sederhana kita terhadap laba bersih perusahaan adalah membukukan secara konsisten rasio laba bersih terhadap total penjualan lebih besar dari 20%. Tentu ada pengecualian terhadap industri tertentu. Kita juga harus membandingkan dengan perusahaan sejenis pada industri yang sama untuk mengetahui berapa rasio rata-rata industri itu. Hanya perusahaan seperti ini yang akan masuk dalam watchlist kita untuk menunggu kapan bursa akan memberikan harga yang wajar untuk kita beli. Harga yang wajar bukan berarti menunggu market krisis atau crash. Kita akan memperlajari cara menghitungnya nanti.
Pengecualian untuk filter di atas adalah untuk industri bank dan perusahaan finansial. Industri ini jika membukukan rasio laba bersih yang tinggi terhadap total penghasilan menunjukan bahwa perusahaan atau manajemen perusahaan tidak mengindahkan resiko. Jika kita melihat perusahaan finansial atau bank yang menunjukkan rasio ini dengan angka yang luar biasa, dapat mengindikasikan bahwa manajemen perusahaan mengambil resiko yang lebih besar untuk mendapatkan uang mudah dengan memberikan kelonggaran kredit. Karena hanya itulah cara perusahaan pada industri ini untuk mendapatkan uang. Bagaimana menurut Anda perusahaan perbankan atau finansial yang memberikan kredit secara mudah hanya untuk mendapatkan uang sesaat? Tentu tingkat kredit macetnya akan sangat mengkhawatirkan kita jika memegang sahamnya.
Kita coba hitung laba bersih dan rasionya terhadap total pendapatan KLBF seperti pada contoh di atas. Pada postingan sebelumnya kita sudah membahas mengenai mengapa laba penjualan aset dan biaya rupa-rupa kita keluarkan dari perhitungan. Sehingga pada contoh di atas, bagian tersebut saya silang.
Tahun 2012
Laba Operasi = Rp 2.217.760.040.587
Beban Bunga = Rp 7.513.612.249
Laba Sebelum Pajak = Laba Operasi - Beban Bunga = Rp 2.210.246.428.338
Pajak Penghasilan = Rp 532.918.244.560
Laba Bersih = Rp 1.677.328.183.778
Rasio Laba Bersih terhadap Total Penjualan = 12.30%
Tahun 2013
Laba Operasi = Rp 2.548.918.930.790
Beban Bunga = Rp 28.642.082.811
Laba Sebelum Pajak = Laba Operasi - Beban Bunga = Rp 2.520.276.847.979
Pajak Penghasilan = Rp 602.070.267.545
Laba Bersih = Rp 1.918.206.580.434
Rasio Laba Bersih terhadap Total Penjualan = 11.98%
Nah setelah kita menghitung rasio laba bersih 2012 dan 2013, apakah KLBF masih masuk dalam calon saham yang akan kita beli? Untuk konsep pertama, KLBF masuk karena perusahaan membukukan kenaikan laba bersih. Konsistensinya yang harus kita telusuri kembali dalam lima sampai sepuluh tahun kebelakang.
Untuk konsep kedua, rasio laba bersih terhadap total pendapatan tidak sampai 20%. Tugas kita berikutnya untuk memastikan apakah KLBF masih layak atau tidak adalah mencari laporan keuangan perusahaan pada industri sejenis, apakah rasio ini lebih baik? Berapakah rata-rata rasio perusahaan pada industri ini?
Selamat mencoba. Semoga bermanfaat
Kamis, 27 Agustus 2015
LAPORAN RUGI/LABA (5) - Profit (Loss) Penjualan Aset dan Biaya Lainnya
Ketika perusahaan menjual asetnya (selain inventory produk) maka keuntungan atau kerugian dari penjualan itu akan dicatat pada pos "Laba (Rugi) atas penjualan aset" pada laporan Rugi/Laba. Laba berasal dari selisih harga pada saat penjualan aset dengan harga buku dari aset tersebut. Jika perusahaan memiliki sebuah aset, kendaraan misalnya dengan harga Rp 500.000.000,- dan setelah depresiasi beberapa tahun nilai buku kendaraan menjadi rp 200.000.000,-. Karena kendaraan sudah tidak produktif lagi, perusahaan menjual aset tersebut. Jika kendaraan laku terjual Rp 250.000.000,- maka perusahaan akan mencatatkan laba atas penjualan aset tersebut Rp 50.000.000,-. Sebaliknya jika perusahaan hanya bisa menjual Rp 150.000.000,- maka perusahaan akan mencatatkan kerugian atas pernjualan aset sebesar Rp 50.000.000,-
Pos lainnya atau rupa-rupa mencakup penghasilan atau biaya-biaya non-operasi, pendapatan maupun pengeluaran yang jarang terjadi. Hal-hal yang diluar proses normal bisnis. Bisa berupa perjanjian lisensi, patent, dan lainnya.
Terkadang kejadian tidak berulang ini, baik dari pos laba/rugi penjualan aset maupun perndapatan/biaya lain-lain menambah secara signifikan (angkanya besar) pada laporan rugi/laba. Karena kejadian ini tidak berulang dan jarang, maka kita perlu mengeluarkan pos-pos ini dari perhitungan profit bersih perusahaan agar pencarian kita terhadap perusahaan super tidak bias. Jangan sampai kita hanya melihat bahwa perusahaan pada tahun tersebut profit, ternyata hampir 80% profitnya berasal dari penjualan aset bukan dari operasional perusahaan tersebut. Tentu kita tidak akan membeli perusahaan seperti itu.
contoh pos laba penjualan aset dan biaya rupa-rupa
Kita sudah hampir selesai membahas mengenai Laporan Rugi/Laba. Pada postingan berikutnya kita akan membahas mengenai Laba Sebelum Pajak, Pajak Penghasilan, dan Net Earnings.
Rabu, 26 Agustus 2015
LAPORAN RUGI/LABA (4) - Laba Operasi dan Beban Bunga
Pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas mengenai :
- Menghitung Gross Profit dan mencari ratio nya untuk mengetahui apakah perusahaan memiliki kriteria awal disebut sebagai perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif jangka panjang
- Memperhatikan konsistensi beban penjualan dan administrasi umum serta rationya terhadap laba kotor untuk memastikan apakah perusahaan konsisten dalam membelanjakan profit kotornya.
- Memberikan perhatian ekstra pada R&D cost yang membedakan perusahaan akan terus bertahan unggul dan memiliki outlook jangka panjang yang baik dibandingkan dengan perusahaan biasa-biasa saja.
Gross Profit atau laba kotor dikurangkan dengan beban operasi akan menjadi laba operasi. Jika kita menggunakan contoh sebelumnya pada saham KLBF maka laba operasi perusahaan sebagai berikut :
Laba Operasi = Laba Kotor - Beban Operasi (Beban Penjualan, Administrasi dan Umum, R&D)
Tahun 2012
Laba Operasi = 6.533.433.806.831 - (3.573.502.403.790 + 651.416.535.513 + 90.754.826.941) = Rp 2.217.760.040.587
Tahun 2013
Laba Operasi = 7.679.113.456.058 - (4.230.293.635.075 + 764.512.533.499 + 135.388.356.694) = Rp 2.548.918.930.790
Setelah kita mengetahui laba operasi perusahaan, pada laporan rugi/laba ada beban-beban lainnya yang akan mengurangkan beban operasi ini. Pada postingan kali ini kita akan membahas salah satu beban yang perlu diperhatikan, yaitu beban bunga.
Beban bunga adalah beban yang ditanggung perusahaan untuk membayar bunga hutang atau pinjaman. Hutang akan dicatat perusahaan pada laporan neraca, sedangkan bunganya akan membebani perusahaan dan dicatat pada laporan rugi/laba. Beban bunga ini merupakan beban finansial, bukan beban operasi sehingga kita keluarkan dan tidak digabungkan ke beban operasi. Karena beban ini tidak berhubungan secara langsung dengan proses produksi maupun proses penjualan. Beban bunga bisa merefleksikan total hutang perusahaan. Semakin besar hutang yang dimiliki perusahaan, semakin besar beban bunga.
Perusahaan dengan beban bunga yang besar bisa dikatakan tergolong kelompok industri yang kompetitif, karena membutuhkan belanja modal yang besar untuk tetap mempertahankan keunggulan kompetitifnya di pasar. Perusahaan yang memiliki outlook jangka panjang yang baik, rasio beban bunga terhadap laba operasinya kecil. Contoh P&G hanya membayar sekitar 7% rata-rata rasio beban bunga dibandingkan dengan laba operasi. Bandingkan dengan perusahaan ban Goodyear yang tergolong industri dengan tingkat kompetisi yang tinggi dan membutuhkan belanja modal besar, menggunakan rata-rata 49% laba operasi hanya untuk membayar beban bunga.
Tetapi industri yang memiliki tingkat kompetisi tinggi tidak berarti tidak ada perusahaan yang berkilau. Beban bunga inilah yang akan menjadi filter kita untuk mencari telur emas dari industri dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Contoh perusahaan penerbangan, sebagian besar perusahaan memiliki beban bunga yang besar untuk membeli pesawat. Tetapi perusahaan Southwest Airline, salah satu perusahaan penerbangan yang konsisten menciptakan laba, hanya membebankan sekitar rata-rata 9% laba operasinya untuk membayar beban bunga. Bandingkan dengan kompetitornya United Airlines yang keluar masuk zona kebangkrutan. Beban bunganya terhadap laba operasi mencapai rata-rata 61%. American Airline bahkan menggunakan laba operasi sebanyak 92% hanya untuk membayar beban bunga.
Berapa patokan rasio beban bunga terhadap laba operasi bisa dikatakan rendah? Perusahaan umumnya dapat dikatakan baik jika beban hutangnya hanya 15% dari laba operasinya. Tetapi kita juga harus memperhatikan pada industri apa perusahaan itu bergerak. Karena dari satu industri ke industri lainnya akan memiliki batasan berbeda. Sebagai contoh Bank Wells Fargo yang sahamnya dimiliki Warren Buffett sebanyak 14%, beban bunganya mencapai 30%. Tetapi rasio itu termasuk salah satu rasio terendah dan terbaik jika dibandingkan dengan sesama bank atau industrinya.
Filternya sederhana, pada perusahaan apapun dan industri apapun yang memiliki rasio beban bunga terhadap laba operasi terkecil hampir bisa dikatakan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat membuat perusahaan tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Sekarang coba kita cek rasio beban bunga KLBF terhadap laba operasinya.
tahun 2012 : 17.513.612.249 / 2.217.760.040.587 = 0.79%
tahun 2013 : 28.642.082.811 / 2.548.918.930.790 = 1.12%
Dapat kita lihat bahwa KLBF termasuk perusahaan dengan ratio beban bunga yang baik karena < 15%. Nah, tugas teman-teman selanjutnya adalah mencari tahu, pada industri yang sama dengan KLBF berapa ratio beban bunga perusahaan pesaing? Apakah dalam lima sampai sepuluh tahun kebelakang KLBF memiliki rasio beban bunga yang konsisten di angka 0.7 - 1.5 %? Apakah selalu di bawah 15%? Sekali lagi, kita mencari perusahaan yang konsisten, karena kekonsistenannya lah yang akan memberikan pertumbuhan kepada investasi kita. Selamat mencoba dan tunggu postingan berikutnya, kita akan membahas komponen lain dari laporan rugi / laba yang akan membuat kita menemukan telur emas.
Selasa, 25 Agustus 2015
LAPORAN RUGI/LABA (3) - BIAYA OPERASI - Biaya Research and Develpoment + CONTOH KASUS
Salah satu biaya yang termasuk di dalam kelompok biaya operasi yang akan kita gali lebih dalam adalah biaya research and development (R&D). Berikut contoh letak beban R&D pada laporan Rugi/Laba
Beban R&D ini adalah poin penting untuk kita mengetahui apakah sebuah perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat berlangsung jangka panjang. Beberapa contoh keunggulan kompetitif perusahaan dapat dikarenakan paten yang dimiliki perusahaan, atau mungkin teknologi canggih yang dimiliki. Jika keunggulan kompetitif perusahaan dikarenakan adanya patent yang dimiliki perusahaan tersebut, contoh perusahaan farmasi, maka akan ada satu waktu jangka waktu patent tersebut habis dan keunggulan kompetitif yang dimilikinya menghilang begitu saja.
Jika keunggulan kompetitif perusahaan muncul karena teknologi yang ditawarkan, maka akan selalu muncul teknologi terbaru yang akan menggantikannya. Sebagai contoh pernahkah Anda mengetahui berapa harga saham Blackberry tahun 2005 - 2008? Dan berapa harga sahamnya sekarang? di tahun 2007 harga sahamnya pernah mencapai $230 / lembar, dan per hari ini 25/08/2015 harga sahamnya hanya $6.97 / lembar. Keunggulan kompetitif yang dimiliki hari ini di dunia teknologi bisa menjadi usang dan ketinggalan jaman besok!
Perusahaan yang menghabiskan biaya R&D besar, bukan hanya akan membebani perusahaan dari segi pengeluaran R&D nya saja, tetapi perusahaan ini juga akan secara konstan harus menciptakan produk baru yang artinya mereka juga harus melakukan redesign dan update program penjualan, tools, mesin, yang juga akan meningkatkan beban penjualan serta beban administrasi dan umum.
Kita lihat contoh MERCK. perusahaan ini mengeluarkan biaya R&D 29% dari laba kotor dan 49% untuk biaya penjualan dan administrasi umum. Secara total, ketiga biaya ini memakan profit kotor sebanyak 78%. Apa yang akan terjadi jika MERCK gagal menemukan dan membuat patent baru yang akan menjadi sumber penghasilan perusahaan berikutnya setelah patent sebelumnya expire?
MOODY'S, perusahaan pemberi rating merupakan salah satu waham favorit WB. Apa alasannya? Karena jika kita lihat, perusahaan ini hanya menghabiskan 25% laba kotor untuk beban penjualan dan beban administrasi umum dan tidak mengeluarkan biaya R&D. Coca-Cola juga tidak memiliki biaya R&D. Perusahaan tanpa patent, tanpa menjual teknologi seperti perusahaan-perusahaan ini akan membuat keunggulan kompetitif perusahaan akan tetap berlangsung dalam waktu yang lama tanpa takut apakah masa berlaku patent akan habis, ataukan apakah teknologi sekarang akan ketinggalan jaman.
Perusahaan dengan biaya R&D yang besar - agar tetap mempertahankan keunggulan kompetitifnya -bisa kita katakan mempertaruhkan ekonomi jangka panjang perusahaan pada resiko dan ketidakpastian. Jika ada perusahaan dengan masa depan penuh ketidakpastian, apakah kita akan berinvestasi dan menaruh uang kita di sana? Mungkin inilah sebabnya Warren Buffett tidak pernah tergoda untuk membeli perusahaan teknologi.
Untuk contoh kasus saham KLBF di atas, rasio biaya R&D terhadapa laba kotor perusahaan sebagai berikut :
Tahun 2012
Rasio Beban R&D = Beban R&D / Laba Kotor = 90.754.826.941 / 6.533.433.806.831 = 1.39%
Tahun 2013
Rasio Beban R&D = Beban R&D / Laba Kotor = 135.388.356.694 / 7.679.113.456.058 = 1.76%
Perusahaan KLBF hanya menggunakan laba kotor sebesar 1 - 2% untuk R&D.
Semoga penjelasan ini cukup bermanfaat dan dapat dipahami. Karena filter ketiga ini merupakan salah satu poin penting untuk kita menilai apakah perusahaan memiliki keunggulan kompetitif jangka panjang yang akan tetap bertahan lima puluh hingga seratus tahun kedepan dan terus mencetak profit untuk pada shareholdernya.
LAPORAN RUGI/LABA (2) - BIAYA OPERASI - Beban Penjualan, Beban Umum dan Administrasi (CONTOH KASUS)
Disclaimer : Postingan ini tidak bermaksud untuk mengajak pembaca membeli saham yang dicontohkan. Ini hanyalah contoh untuk memperjelas penjabaran pada postingan sebelumnya dengan contoh real. Ingat bahwa setiap investasi memiliki resiko.
Pada contoh kasus kali ini kita tetap menggunakan contoh sebelumnya, KLBF
Tahun 2012
Beban Penjualan = Rp 3.573.502.403.790
Beban Administrasi dan Umum = Rp 651.416.535.513
Rasio Beban Penjualan, Administasi Umum terhadap Gross Profit
= (3.573.502.403.790 + 651.416.535.513) / 6.533.433.806.831 = 64.67%
Tahun 2013
Beban Penjualan = Rp 4.230.293.635.075
Beban Administrasi dan Umum = Rp 764.512.533.499
Rasio Beban Penjualan, Administasi Umum terhadap Gross Profit
= (4.230.293.635.075 + 764.512.533.499) / 7.679.113.456.058 = 65.04%
Apa arti dari angka-angka tersebut? Artinya pada tahun 2012 perusahaan KLBF menghabiskan 64.67% dari profit kotornya untuk dibelanjakan pada pos / beban penjualan dan beban administrasi dan umum. Sedangkan pada tahun 2013 perusahaan membelanjakan profit kotornya sebanyak 65.04%. Kedua pos beban ini termasuk beban produktif yang artinya akan mendukung pertumbuhan penjualan perusahaan. Beban penjualan / selling akan memperkuat brand perusahaan, beban administrasi dan umum, khususnya beban gaji pegawai serta management akan menguatkan perusahaan dari dalam. Pertanyaan berikutnya, apakah rasio sebesar itu baik? Apakah itu termasuk perusahaan yang kita cari? Pada postingan sebelumnya kita sudah membahas semakin kecil angka rasio ini semakin baik. Di kisaran angka 30% pada perusahaan umumnya sudah sangat luar biasa. Yang normal dan bisa dikatakan baik adalah 30% - 80%. Jika melihat rasio beban penjualan dan administrasi umum KLBF terhadap laba kotornya, maka kita dapat menganggap perusahaan ini baik dalam pengelolaan beban tersebut. Tetapi akan lebih baik lagi jika kita membandingkan dengan perusahaan sejenis. Berapa rasio beban ini pada perusahaan sejenis? Mari teman-teman cari laporan keuangan perusahaan sejenis untuk mengetahuinya.
Faktor kedua yang perlu kita perhatikan juga adalah, apakah perusahaan menggunakan profit kotornya untuk kedua beban ini teratur dan terencana? Bagaimana kita mengetahui bahwa perusahaan sudah merencanakannya? Hal itu terlihat dari konsistennya besaran rasio beban penjualan dan administrasi umum terhadap laba kotor perusahaan. Pada contoh di atas, kurang lebih perusahaan menghabiskan 65 % profit kotor untuk pos tersebut. Nah, sekarang tugas teman-teman adalah mencari tahu lima sampai sepuluh tahun ke belakang, apakah rasio beban penjualan dan administrasi terhadap laba kotor perusahaan ini konsisten di kisaran 65%? Berlatihlah untuk mencari dan membaca laporan keuangan. Selamat mencoba. Semoga contoh kasus ini lebih memudahkan pemahaman mengenai cara menghitung rasio beban penjualan dan administrasi terhadap laba kotor. Postingan berikutnya, kita akan membedah komponen lain dari Laporan R/L, yaitu beban R&D yang akan membedakan perusahaan mana yang dalam jangka panjang akan bersinar seperti telur emas, ataukah hanya perusahaan biasa-biasa saja.
Senin, 24 Agustus 2015
BURSA / INDEKS AKAN SELALU KEMBALI NAIK.
Postingan kali ini saya menyadur dari buku berjudul "Profit from the Panic" karangan Adam Khoo, Conrad Alvin Lim dan Ryan Huang. Versi Indonesianya dapat dibeli di toko-toko buku terdekat. Mengapa saya menyadur bagian buku ini kali ini? Karena di dalam buku tersebut ada penjelasan mengapa bursa akan selalu kembali naik setelah adanya crash atau krisis, dan ini adalah kesempatan besar untuk kita sebagai value investor untuk masuk ke bursa dan membeli saham perusahaan super yang kita incar. Berikut petikan isi buku itu :
Anda dapat melihat bahwa dalam jangka waktu pendek, bursa saham bergerak sangat cepat seperti permainan rollercoaster. Setiap kali bursa bergerak naik, pasti akan turun kembali. Setiap kali bursa turun, pasti akan kembali naik.
Namun yang paling penting untuk diingat adalah dalam jangka waktu panjang, bursa akan selalu naik. Dalam 50 tahun terakhir, bursa Amerika telah menghasilkan pendapatan tahunan gabungan sebesar 12.08% dengan deviden yang diinvestasikan lagi.
Orang-orang sering bertanya bila bursa sudah merangkak naik dengan stabil setelah sekian lama, apakah kita masih bisa mengharapkannya untuk terus naik? Jawabannya adalah YA! Kenapa bisa terus naik? Ada tiga alasan :
Inflasi
Peningkatan biaya hidup yang tak terhindarkan akan memastikan kenaikan harga barang-barang dan jasa. Pendapatan perusahaan pun akan ikut naik dalam hitungan dollar. Hal ini akan tercermin dalam harga saham mereka (yang berkontribusi pada nilai indeks, yang kemudian juga ikut naik)
Peningkatan Permintaan
Permintaan atas barang dan jasa akan lebih banyak, sebagain berkat peningkatan pertumbuhan populasi dunia dan negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini terutama dipicu oleh negara-negara berkembang, seperti China, India, dan negara Asia lainnya. Semakin banyak orang yang membeli hamburger, komputer, obat-obatan, berarti pendapatan, keuntungan, nilai bersih perusahaan yang bersangkutan akan naik - bersamaan dengan harga saham mereka.
Struktur Indeks
Indeks hanya berisikan perusahaan-perusahaan terbaik. Bila ada di antara mereka yang tidak berkinerja dengan baik, mereka akan ditendang keluar dan digantikan dengan perusahaan yang berkinerja lebih baik. Misalnya indeks Dow Jones pada bulan Oktober 2008m perusahaan asuransi AIG dikeluarkan dan digantikan oleh perusahaan makanan dan minuman raksasa Kraft.
Pada kenyataannya, bila Anda membandingkan 25 tahun pertama (1957 - 1982) dengan 25 tahun kedua (1982 - 2007), Anda akan melihat bahwa tren naik menjadi lebih curam. Hal ini berarti bursa saham bertumbuh semakin cepat. Alasan dari fenomena ini adalah teknologi dan globalisasi. Dulu pada tahun 1950an, sebuah perusahaan butuh 10 hingga 20 tahun untuk mendapatkan keuntungan miliaran dollar. Kini sebuah perusahaan seperti Google meraih keuntungan yang sama hanya kurang dari lima tahun.
Jadi, setelah mengetahui semua ini, strategi apa yang dapat kita gunakan untuk menghasilkan keuangan secara konsisten dan menguntungkan dari bursa?
LAPORAN RUGI/LABA (2) - BIAYA OPERASI - Beban Penjualan, Beban Umum dan Administrasi
Pada laporan rugi/laba, tepat setelah rugi/laba kotor adalah grup biaya operasi. Yang termasuk di dalam grup ini adalah biaya R&D, biaya marketing dan selling, biaya administrasi, biaya gaji pegawai, biaya overhead, depresiasi, amortisasi, dan biaya lainnya di luar biaya langsung produksi / HPP. Total dari semua biaya ini akan mengurangkan rugi / laba kotor perusahaan sehingga diperoleh Rugi / Laba operasi.
Contoh Laporan R/L - Grup Biaya Operasi
Kali ini kita akan membahas terlebih dahulu Beban Penjualan dan Beban Umum Administrasi dari grup Beban Operasi. Beban R&D, beban bunga, dan beban lainnya dalam grup beban operasi ini akan kita bahas pada kesempatan berikutnya.
Beban penjualan adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penjualan, baik penjualan langsung maupun penjualan tidak langsung. Contohnya adalah biaya iklan, komisi penjualan langsung, dan sebagainya. Sedangkan biaya administasi dan umum meliputi biaya-biaya untuk operasi perusahaan secara umum seperti gaji manajemen, biaya perjalanan, biaya legal, gaji pegawai, dan sebagainya.
Perusahaan seperti Coca-Cola menghabiskan miliaran dollar untuk biaya penjualan dan biaya administrasi umum ini. Pengeluaran ini memberikan dampak yang baik untuk semua stakeholder perusahaan. Jika dibuat perbandingan terhadap gross profit / laba kotor, Coca-Cola secara konsisten menghabiskan rata-rata 50 - 60% untuk pos pengeluaran ini. P&G konsisten menghabiskan sekitar 55 - 65 %. Konsisten adalah kata kuncinya.
Perusahaan yang tidak memiliki keunggulan kompetitif akan selalu berkompetisi dan menunjukan variasi yang lebar pada pos pengeluaran ini. Contoh, GM menghasbiskan 28 - 83% dari gross profit untuk pos ini. Ford membelanjakan 89% - 780% untuk pengeluaran ini dalam 5 tahun kebelakang yang mana menunjukan perusahaan ini menghabiskan uang secara GILA. Apa yang akan terjadi jika penjualan perusahaan menurun, yang artinya pendapatan perusahaan menurun tetapi biaya penjualan, administrasi dan umumnya tetap? Jika perusahaan tidak dapat menurunkan biaya ini dengan cukup cepat, maka ini akan mulai memakan keuntungan perusahaan.
Filter kita yang kedua untuk mencari telur emas adalah mencari perusahaan yang memiliki pengeluaran pada pos beban penjualan dan beban administrasi umum yang rendah. Semakin rendah semakin baik. Kategori rendah jika dibandingkan dengan laba kotor perusahaan. Selain rendah, tentu saja harus konsisten. Untuk perusahaan secara umum, beban ini jika dibawah 30% sudah sangat fantastis. Rata-rata perusahaan yang baik akan menghabiskan sekitar 30 - 80% gross profitnya untuk biaya penjualan dan administrasi umum ini. Jika beban pernjualan dan administrasi umum mendekati 100%, maka perusahaan itu berada pada industri yang memiliki tingkat persaingan yang tinggi.
Tetapi ada juga perusahaan yang memiliki beban penjualan, beban administrasi dan umum yang kecil tetapi dalam jangka panjang ternyata tidak menguntungkan. Contoh Intel. Perusahaan ini punya ration kecil pada beban pos ini, tetapi mereka memiliki beban yang sangat besar untuk Beban Research and Development (R&D) sehingga membuat perusahaan ini dalam jangka panjang hanya menjadi perusahaan rata-rata. Mengapa demikian? Karena jika Intel berhenti melakukan riset dan pengembangan, maka produk mereka akan menjadi produk yang ketinggalan jaman dalam 10 tahun kemudian dan mungkin akan hilang. Mereka harus terus melakukan pembaharuan produk secara berkala, sehingga beban riset dan pengembangan ini menjadi besar rationya terhadap profit kotor. Besarnya biaya R&D ini juga biasanya sebanding dengan besarnya beban bunga / hutang atau pengeluaran modal. Karena perusahaan harus terus mengupdate proses produksinya dan melakukan perubahan mesin pabrik. Pos Beban R&D ini akan kita bahas pada pembahasan berikutnya, jadi tunggu saja postingan saya berikutnya.
LAPORAN RUGI/LABA (1) Penghasilan, HPP, Gross Profit Margin (CONTOH KASUS)
Disclaimer : Postingan ini tidak bermaksud untuk mengajak pembaca membeli saham yang dicontohkan. Ini hanyalah contoh untuk memperjelas penjabaran pada postingan sebelumnya dengan contoh real. Ingat bahwa setiap investasi memiliki resiko.
Kita telah mengetahui filter pertama untuk mencari telur emas / perusahaan super yang akan membuat kita menjadi kaya dalam jangka panjang adalah perusahaan dengan Gross Profit Margin yang besar dan konsisten. Bagi yang belum membaca postingan saya sebelumya, silahkan baca dulu artikel berikut sebelum melanjutkan membaca artikel ini. Maka yang harus kita lakukan adalah mencari perusahaan-perusahaan yang memenuhi kriteria tersebut.
Berikut contoh menghitung gross profit margin dari laporan keuangan Rugi/Laba. Pada contoh ini kita menggunakan Laporan Rugi/Laba PT. Kalbe Farma Tbk tahun 2013.
Gross Profit Margin = Laba Bruto / Total Penjualan
GPM KLBF tahun 2012 = 6.533.433.806.831 / 13.636.405.178.957 = 47.91%
GPM KLBF tahun 2013 = 7.679.113.456.058 / 16.002.131.057.048 = 47.99%
Dari data di atas, kita mendapatkan informasi bahwa PT. Kalbe Farma Tbk memiliki profit margin sekitar 47 - 48% per tahun. Untuk perusahaan secara umum, profit margin sebesar ini sudah bisa dikatakan baik. Ingat, perusahaan super yang kita cari harus memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri berapa harga jualnya tanpa harus bersaing menurunkan harga jualnya. Perusahaan tersebut haruslah memiliki keunggulan kompetitif, sehingga berapapun harga yang ditetapkan perusahaan untuk menjual barang atau jasanya, customer tetap akan membelinya.
Selain memiliki gross profit margin yang besar, syarat kedua filter awal ini adalah konsistensi. Nah, sekarang tugas teman-teman adalah mencari tahu lima sampai sepuluh tahun ke belakang, apakah gross profit margin perusahaan ini konsisten di kisaran 47%? Berlatihlah untuk mencari dan membaca laporan keuangan. Selamat mencoba. Semoga contoh kasus ini lebih memudahkan pemahaman mengenai cara menghitung gross profit margin. Postingan berikutnya, kita akan membedah komponen lain dari Laporan R/L.
Sabtu, 22 Agustus 2015
Lo Kheng Hong, "Warren Buffett"-nya Indonesia
Pernahkah teman-teman mendengar nama Lo Kheng Hong? Beliau adalah salah satu value investor Indonesia yang memiliki aset hingga 2,5 Triliun Rupiah dengan memburu telur emas IHSG. Berikut adalah salah satu tips dari Beliau yang diambil dari Investor Daily :
Karena kepiawaiannya mereguk keuntungan berlipat ganda dari pasar saham, ia dijuluki sebagai “Warren Buffett Indonesia.” Lo Kheng Hong, demikian nama pria berusia 52 tahun itu, tak hanya lihai memilih sahamsaham yang mampu menghasilkan gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish.
Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti saham apa yang dibeli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Semakin cepat panik seorang investor, semakin menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong kepada wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto Eko S Hilman di Jakarta, baru-baru ini.
Seperti Warren Buffett, sang maestro saham di Wall Street yang menjadi idolanya, ayah dua anak berpembawaan kalem dan rendah hati ini juga tergolong tipe investor jangka panjang yang hanya sesekali saja menjadi trader. Ia bahkan bukan tipe investor yang setiap saat memelototi layar komputer atau melengkapi diri dengan handphone canggih untuk melihat pergerakan harga saham. ”Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam jangka panjang, dapat uangnya besar,” ujar Lo Kheng Hong.
Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo Kheng Hong sebagai pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil lolos dari krisis moneter 1997-1998, bahkan kemudian menangguk keuntungan hingga 150.000%. “Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.
Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk saham sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali tidak tergoda untuk mendiversifikasi investasinya ke instrumen lain, seperti emas, properti, atau kendaraan. Bahkan, mantan kepala cabang Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan, termasuk perusahaan sekuritas.
“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi krisis saya masih punya uang untuk membeli saham. Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham dan asetnya disebut-sebut bernilai triliunan rupiah.
Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar dari pasar saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan lengkap wawancara dengan pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak berniat menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.
Anda punya saham apa saja?
Saya punya saham 30 emiten, antara lain di Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan saya di saham lain di bawah 5%. Saya tipe investor jangka panjang. Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya besar. Saya pegang saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005 seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp 31.500. Belum saya jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.
Cara Anda memilih saham?
Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance (GCG) atau tidak. Saya cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu. Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam karung, karena ini menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu. Lihat manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai pengelolanya suka ambil uang perusahaan,
sehingga saya sebagai sleeping partner dirugikan. Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua manajemen, ketiga manajemen, baru yang lain.
Kemudian lihat sektor usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang kurang menarik, misalnya sepatu, tekstil, dan garmen. Tapi ada juga yang menarik, seperti sawit dan pakan ayam. Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah. Perhatikan juga apakah emitennya mengalami pertumbuhan atau tidak.
Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?
Ada empat tipe perusahaan. Pertama, yang rugi terus, yang kadang untung dan kadang merugi, kemudian yang untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga yang growing secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan seterusnya. Ini yang saya cari. Lihat kinerjanya lima tahun ke belakang. Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya mengalami hal sama. Kalau sudah lima tahun berturut-turut growing, tandanya itu super company.
Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi?
Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang saham A karena harganya Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya, saham yang harganya Rp 70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.
Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?
Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PERnya di bawah lima kali, itu sangat menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan yang sudah baik dan manajemennya bagus, PER-nya sudah di atas 10 kali.
Kapan saat paling tepat masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di Yunani, Eropa, dan AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan, buy on weakness. Dan, harus be greedy when others are fearful dan sebaliknya, be fearful when others greedy.
Bukankah sulit menerapkan filosofi tersebut?
Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang yang sudah terbukti berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha, ha… Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa mengelola uang nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua peraturan di bursa saham, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara menjadi kaya di pasar saham.
Berarti, kuncinya ada di mental?
Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Saya berikan ilustrasi. Waktu saya ke Harvard University, saya tanya biaya kuliahnya berapa? Ternyata bisa sampai US$ 40.000. Dengan belajar seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi orang pintar. Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum tentu jadi pintar, malah bisa tambah bingung, seperti Madoff yang sudah menghabiskan uang masyarakat US$ 60 miliar. Intinya, pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang kuat, kita harus mengetahui perusahaan satu per satu.
Jadi, Anda tipe investor fundamental?
Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan perusahaan. Kalau teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya yakin itu tidak benar. Tapi memang harus selektif. Dari 400-an saham yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya bagus. Terkadang, ada yang terjebak.
Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?
Falsafah hidup saya adalah bagaimana menjadi kaya sambil tidur. Kenapa kita pusing? Karena beli saham yang tidak kita ketahui. Ada yang tidak bisa tidur karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali. Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya hanya lima kali?
Bukankah faktor nonfundamental sering menentukan?
Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market mengalami booming, semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan dan tidak mengerti apa yang dibeli. Belajarlah dari orang yang sudah berhasil. Jangan percaya kalau ada yang bilang dapat untung besar saat IHSG turun. Hebat sekali. Warren Buffett saja mengalami kerugian saat pasar turun.
Anda berinvestasi pada instrumen selain saham?
Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana tunai saya hanya 15%, sisanya portofolio saham. Itu untuk antisipasi kalau pasar modal kita jatuh, sehingga saya masih bisa beli saham lagi. Saya membiayai hidup sehari-hari dari dividen. Selain itu, misalnya harga saham yang saya beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp 2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat menahannya untuk jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah 300% dalam sebulan, saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep.
Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh, tapi tetap be greedy when others are fearful. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi. Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini.
Langganan:
Postingan (Atom)